Kali ini, saya akan mengangkat permasalahan MOS atau yang sering di singkat dengan Masa Orientasi Indonesia yang ada di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu memang marak kasus kematian seorang siswa di sekolah akademik akibat kegiatan MOS. Tapi sebelumnya, saya akan menjelaskan tentang MOS itu sendiri. MOS atau Masa Orientasi Sekolah adalah serangkaian masa pra-sekolah untuk murid baru (murba) baik setingkat SMP, SMA ataupun Universitas. MOS merupakan kebiasaan dalam dunia pendidikan yang sudah turun-temurun dilaksanakan oleh senior kepada junior baru. Hal ini sangat berguna, karena memang saat MOS para senior akan mencoba untuk mengenalkan tentang seluk-beluk sekolah yang baru dijajaki oleh para junior. Sebenarnya kegiatan MOS merupakan salah satu kegiatan resmi sekolah yang mempunyai dasar hukum yang jelas, Biasanya berupa peraturan dari Bupati/Wali Kota, Dinas Pendidikan atau sekolah terkait untuk menyelenggarakan MOS. Jadi MOS merupakan suatu kegiatan yang telah dilegalkan oleh pemerintah/sekolah setempat. Jadi, setelah diteliti, ada beberapa manfaat dari MOS itu sendiri, antara lain :
- Mengenal lingkungan sekolah;
- Memahami arti penting kejujuran, diiplin dan ketertiban;
- Memahami cara belajar efektif dan menyenangkan;
- Membangkitkan jiwa kebersamaan serta kekompokkan antar individu;
- Melaksanakan tata krama dan membangun kerjasama;
- Membiasakan berkompetisi serta menghindari kecurangan;
- Membangkitkan pemahaman bela Negara dan wawasan kebangsaan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka level MOS pun semakin beragam. Mungkin bagi anak SD, MOS tidak berlaku bagi mereka. Karena masa-masa SD merupakan masa awal untuk mengenal sekolah, bukan lanjutan dari satu jenjang ke jenjang lain, misalnya seperti dari SD ke SMP. Saat masa-masa awal masuk SMP, saya pernah merasakan MOS yang sesungguhnya. Maksudnya adalah, pihak penyelenggara MOS memang mengenalkan tentang sekolah kepada junior-junior baru. Mereka mengenalkan tentang letak fasilitas-fasilitas sekolah, semisal ruang Lab, ruang Kepala Sekolah, ruang Multimedia, ruang UKS, ruang guru, ruang Perpustakaan dan sebagainya. Lalu, mereka juga membuat suasana MOS lebih bermakna dan membuat kesan. Sampai sekarang saya pun masih mengingat hal tersebut karena MOS pada saat itu dibawa oleh para Senior yang kreatif serta mendidik sehingga membuat suasana MOS sangat mengesankan bagi para Murba.
Biasanya kegiatan MOS diadakan dengan disertai game-game yang bernuansa edukatif ataupun rekreatif agar Murba dapat meningkatkan Kreatifitasnya. Dan para senior memiliki banyak cara agar sang junior bisa langsung memahami arti kedisiplinan dan kekompakan. Biasanya para senior akan membuat suatu masalah dan mengaruskan para junior untuk memecahkan masalah itu. Dari kegiatan itu, bisa tercipta kekompakan dan kerjasama antara sesama junior. Apalagi ketika masuk sekolah baru, seluruh junior akan bertemu dengan orang-orang baru, dan keluar dari zona aman mereka.
Namun sayangnya, dewasa ini MOS sering sekali menjadi persoalan yang seolah tidak berujung. Bagaimana tidak, MOS yang tadinya bertujuan positif, malah jadi ajang balas dendam, ajang menunjukkan kehebatan, menyuruh para junior dengan hal diluar nalar manusia, maupun ajang coba-coba. Banyak senior yang merasa “tidak enak badan” kalau belum membuat perhitungan kepada murid baru disebuah sekolah. Padahal, hal itu tidak termasuk dalam tujuan MOS sesungguhnya. Saya sering melihat kasus-kasus kekerasan yang berujung kematian saat proses MOS berlangsung. Miris rasanya ketika kita tahu bahwa kegiatan MOS sendiri telah tercoreng karena keegoisan semata. Keegoisan untuk membalas rasa sakit hati yang dulu pernah dirasakan oleh seorang junior yang kini menjadi senior. Kalau diteliti lagi, sebenarnya kekerasan pada masa MOS dapat dikatakan tindakan bully secara tidak langsung.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2012 terhadap sembilan Provinsi yaitu Sumatera Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur ditemukan angka kekerasan yang cukup tinggi di sekolah. Umumnya, kekerasan ini terjadi saat kegiatan MOS. Dari total responden 1.026 anak ternyata menyatakan 66,5 persen atau 628 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan guru, 74,8 persen 767 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman sekelas (74,8 %), dan sebanyak 578 anak pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman lain kelas (56,3 %). Dari data tersebut sudah bisa dipastikan bahwa kegiatan MOS saat ini banyak menimbulkan hal-hal negatif. Banyak juga kasus-kasus penyiksaan dan kematian yang dialami oleh peserta MOS seperti kasus Seorang siswi di Yogyakarta meninggal dunia saat sedang mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS), Jumat 19 Juli 2013. Diberitakan sebelumnya, bahwa siswi tersebut meninggal usai mendapatkan hukuman squat jump dari panitia MOS sekolah. Dia dihukum karena tidak menggunakan T-Shirt saat akan melaksanakan kegiatan baris-berbaris. Beberapa pengurus sekolah sempat menolong korban dan melarikannya ke Rumah Sakit. Tapi, nahas nyawa siswi tersebut tidak dapat tertolong.
Dari fakta yang terdapat di atas, kita bisa mengambil pelajaran bahwa seharusnya MOS menjadi proses pengenalan, proses pengembangan kreatifitas serta kekompakkan, bukan ajang pamer kekuatan, bukan ajang penyiksaan serta ajang balas dendam. MOS seharusnya menjadi tahap seorang junior lebih paham dan lebih mengenal sekolah dan orang-orang disekitarnya. Kita sebagai generasi bangsa wajib menjunjung tinggi karakter bangsa yang memang jauh dari sikap tidak toleran terhadap orang lain. Dan juga kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai yang terkandung Pancasila seperti “ Kemanusian yang adil dan beradap”, dan “ Keadilan sosial yang bagi seluruh rakyat Indonesia”, dengan menjunjung tinggi nilai Pancasila kita dapat membuat suasana MOS lebih Mengesankan tanpa adanya Kekerasan serta yang terpenting mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kegiatan MOS yang berbau kekerasan dapat di halau dengan cara kesadaran dari masing-masing senior serta dukungan yang baik dan pengawasan yang memadai dari pihak sekolah. Pihak sekolah bukan hanya menjadi pengawas dalam kegiatan MOS, tetapi pihak harus terlebih dahulu Mendidik para senior MOS agar mereka dapat menjadi para Leaders yang hebat pada saat Masa orientasi tersebut. Karena ketika senior telah mengerti pentingnya makna MOS itu sendiri, maka tujuan dari MOS sesungguhnya akan terealisasikan dengan baik. Sehingga berita seperti “kekerasan” para Senior pada saat Masa Orientasi akan tergantikan dengan “kreatifitas” para Senior MOS.
Jadi harapan para Orang tua kepada pihak Sekolah agar MOS menjadi hal yang positif dan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi para anaknya. Semoga Masa Orientasi di setiap ajaran baru dapat menumbuhkan jiwa-jiwa Leaders bagi para Senior agar para Junior dapat suatu hal yang baru yang belum pernah di dapatkan di jenjang sebelumnya dan membuat junior dapat jadi penerus Senior yang baik dan berjiwa Leaders. Serta bagi para junior agar dapat menjadi junior yang patuh terhadap senior jika itu merupakan hal yang positif. Sehingga Pada MOS dapat menjadi kegiatan yang “Positif” bukan “Negatif”.